Monday, February 14, 2011

Trilogi Naskah Proklamasi

Pasal 1 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1971 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kearsipan menjelaskan bahwa “Arsip adalah naskah-naskah….” Butuh waktu nyaris empatpuluh tahun untuk memperluas definisi yang cenderung sempit pemahaman tersebut, serta hanya membatasi pada media tulis-kertas dan—bagi para sejarawan cum filolog—terkesan merupakan sumber sejarah bercorak lokal yang mestinya berada di museum atau perpustakaan, untuk mengkaji peristiwa sebelum Eropa datang, terutama pada masa Kerajaan Hindu-Budha dan Kesultanan Islam meski bisa diperlakukan sebagai sumber pembanding. Kiranya alasan itu pula yang menamai dokumen bersejarah ini dengan “naskah” atau “teks” Proklamasi, bukan “piagam” Kemerdekaan.


Pada akhir 2009, pada akhir masa kepemimpinan Djoko Utomo selaku Kepala Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), Dewan Perwakilan Rakyat sahkan Undang-Undang Nomor 43 tentang Kearsipan Tahun 2009 menjelaskan bahwa: “Arsip adalah rekaman kegiatan atau peristiwa dalam berbagai bentuk dan media sesuai dengan perkembangan teknologi, informasi, dan komunikasi ….” Kiranya penerapan bahwa arsip merupakan “rekaman kegiatan dalam berbagai bentuk dan media”-lah yang memaklumkan bahwa ternyata terdapat tiga versi naskah proklamasi.

A. Versi Tulisan Tangan Soekarno

Inilah versi yang pertama dan tulisan tangan pertama kali oleh Soekarno sepulang Dwitunggal dari Rengasdengklok pada malam Ramadhan 17 Agustus 1945. Bermula dari desakan para pemuda yang tergabung dalam Kelompok Menteng 31—seperti Soekarni, Yusuf Kunto, Singgih, dan Chaerul Saleh—untuk segera menyatakan Kemerdekaan, mumpung Jepang sedang di ambang kekalahan. Informasi bakal kekalahan Jepang para pemuda simak dari radio bawah tanah. Perang Asia Timur atau yang lebih dikenal dengan Perang Dunia II pun memang usai selepas dua kota Hiroshima dan Nagasaki dibom atom Amerika, dan Jepang pun mengaku kalah pada 14 Agustus 1945. Di rumah Laksamana Maeda (kini Museum Perumusan Naskah Proklamasi, MPNP) itulah sang pemilik rumah abaikan resiko ditangkap Sekutu, karena menolak menjaga status quo hingga Sekutu datang. Di sana pula anak muda dan orang tua bersatu merumuskan naskah proklamasi kemerdekaan. Pagi hari Soekarno pun bacakan Proklamasi di tempat yang pernah para pemuda datangi dua hari sebelumnya.

Terdapat coretan pada kata penjerahan, namun akhirnya kata yang tertulis adalah pemindahan. Juga kata dioesahakan yang dicoret, lalu menjadi diselenggarakan. Versi ini pernah hampir terbuang, namun pada awal 1990-an ANRI melalui Sekretariat Negara (Setneg) berhasil mendapatkannya dan menyimpannya di ruangan khusus. Apabila ditransliterasikan maka versi pertama naskah proklamasi tertulis sebagaimana berikut:


Proklamasi

Kami bangsa Indonesia dengan

Ini menjatakan kemerdekaan Indonesia

Hal-hal jang mengenai penjerahan peminda-

han kekoesaan d.l.l, dioesahakan diselenggarakan

dengan tjara seksama dan dalam

tempoh jang sesingkat-singkat-

nja.


Djakarta, 17 – 08 – ‘05



Wakil2 bangsa Indonesia



B. Versi Ketikan Sayuti Melik

Ini merupakan naskah yang ditik Mohamad Ibnu Sayuti alias Sayuti Melik. Sayuti merupakan salah satu anggota Kelompok Menteng 31. Sayuti-lah yang mengusulkan untuk mengganti wakil2 bangsa Indonesia, menjadi atas nama bangsa Indonesia,serta tulisan dan tanda tangan Soekarno/ Hatta. Juga penambahan hari 17 boelan 8, tahoen 05.

Berikut merupakan transliterasi dari naskah proklamasi versi kedua:


PROKLAMASI


Kami bangsa Indonesia dengan ini menjatakan Kemerdekaan

Indonesia.

Hal-hal jang mengenai pemindahan kekoesaan d. l. l., di-

selenggarakan dengan tjara saksama dan dalam tempo jang se-

singkat-singkatnja.




Djakarta, hari 17 boelan 8 tahoen 05


Atas nama bangsa Indonesia


Soekarno/ Hatta


Tandatangan



C. Versi Rekaman Jusuf Ronodipuro

Ragam ketiga inilah yang sering kita dengar terutama pada Perayaan Proklamasi Kemerdekaan. Ragam yang ketiga ini baru direkam lima tahun kemudian atas inisiatif seorang penyiar Radio Republik Indonesia (RRI) bernama Jusuf Ronodipuro. Mulanya Soekarno menolak, seraya beralasan bahwa peristiwa bersejarah hanya sekali terjadi, namun akhirnya bersepakat untuk menyuaraka kembali peristiwa 5 tahun lampau. Jadi pada waktu pembacaan Naskah Proklamasi pada 17 Agustus 1945 Tahun Masehi atau 2005 Tahun Showa oleh Soekarno dan Hatta mendampingi, begitu saja dibacakan tanpa direkam. Walaupun pembacaan itu terbilang amat bersahaja namun berita Proklamasi tersebut perlahan namun pasti terus menyebar ke seantero negeri yang kelak menyulut revolusi sosial di penjuru daerah.

Selain perbedaan pelafalan—ini terkait dengan latar belakang Soekarno yang bersuku Jawa. Soekarno melafalkan akhiran –kan dengan kén, seperti “ken” pada kendaraan. Jadi alih-alih melafalkan “menjatakan” dan “diselenggarakan”, Soekarno melafalkan “menyataken” dan “diselenggaraken”. Soekarno pun melafalkan “tempo” sesuai ketikan Sajoeti, bukan “tempoh” seperti yang dia tulis tangan sendiri. Oleh Soekarno pula d. l. l. dilafalkan menjadi dan lain-lain. Perbedaan selanjutnya antara kedua ragam pertama dengan ragam ketiga adalah perbedaan tahun. Pada ragam pertama dan kedua tertulis ’05, sedangkan apa yang terdengar pada ragam yang ketiga adalah seribu sembilanratus empatpuluh lima atau 1945 Angka ’05 mengacu pada Tahun Showa 2005, sedangkan 1945 mengacu pada Tahun Masehi. Jadi waktu Pendudukan Jepang, usia semua rakyat Indonesia mendadak lebih tua 60 tahun.

Ragam pertama dan kedua merupakan sumber primer, bahkan ragam pertama merupakan sumber otentik atau asli, karena ditulis seketika peristiwa itu terjadi. Ragam ketiga masih merupakan sumber primer karena masih merujuk pada kedua ragam sumber primer. Sehingga kita masih bisa melakukan periksa-silang (koroborasi) yang merupakan bagian dari Kritik Sumber, lebih tepatnya Kritik Intern. Hal inilah yang tidak kita dapati pada naskah Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) 1966, karena kedua ragam yang ANRI simpan dan terdapat pada Diorama Sejarah Perjalanan Bangsa pun berbeda satu sama lain.

Kesamaan ragam pertama dan kedua lainnya adalah pada ejaan yang belum disempurnakan seperti menjatakan, Hal2, jang, kekoesaan, tjara, saksama, tempoh, sesingkat-singkatnja, Djakarta, wakil2, boelan, dan tahoen. Sebagaimana sudah sama-sama kita ketahui bahwa Ejaan Soewandi pada 1948 resmi salah satunya mengganti “oe” menjadi “u”.

Sekaligus ketiga versi tersebut, dapat saya simpulkan asli atau merupakan keterangan-tangan-pertama. Semangat dan upaya melestarikan dokumen bersejarah perlu kita sambut baik. Namun bila tradisi lisan masih berkuasa dan ingatan selalu mudah lupa, lalu bagaimana masa depan Indonesia kelak? Apakah penguasa juga yang ‘menguasai’ sejarah kita? Dwitunggal Proklamator, Tritunggal Naskah Proklamasi.

Raistiwar Pratama