Thursday, February 17, 2011

Aman Dimot, Panglima Kebal Tanoh Gayo


Ia menggadaikan sawah untuk membeli senjata melawan Belanda. Namun, namanya tak masuk sebagai pahlawan nasional.
_________________________________________

Ketika berita Proklamasi Kemerdekaan Indonesia sampai di Takengon awal September 1945, Abu Bakar sudah bergabung ke Lasykar Barisan Berani Mati. Ia juga masuk ke dalam Lasykar Mujahidin pimpinan Teungku Ilyas Lebe.

Sebelumnya pada 25 Mei hingga 10 Juli 1945, Abu Bakar sudah mengikuti latihan militer Dewan Perjuangan Rakyat di Takengon. Abu Bakar dimaksud kerap disapa Aman Dimot oleh rekan-rekannya. Ia lahir di Tenamak Kecamatan Linge, Aceh Tengah, pada 1900.

Namun, pada 19 Desember 1948, Belanda melancarkan agresi militer kedua. Belanda memperluas serangan dari Medan ke Langkat dan Tanah Karo menuju Aceh. Sebagai bentuk solidaritas, Aceh Tengah mengirim pasukan dan bahan pangan ke medan pertempuran di luar Takengon. Ada lima gelombang yang dikirim ke Aceh Timur, Langkat, Medan, Tapanuli, dan Karo.


Teungku Ilyas Lebe kembali ke Takengon dan menyusun pasukan Bagura atau Barisan Gurilya Rakyat untuk mematahkan serangan Belanda di Karo. Bagura memiliki 300 personel, 200 orang dari Takengon, dan 100 dari Blangkejeren serta Kutacane. Aman Dimot tercatat sebagai salah satu “panglima” dalam Bagura.


Pasukan gerilya ini bergerak menuju Karo pada Mei 1949 melalui rute Takengon-Blangkejeren dan Kutacane sejauh 265 kilometer dengan berjalan kaki. Sebagian berseragam dan ikat kepala merah. Sebagian bahkan tidak bersepatu. Hanya ada beberapa pucuk senjata api, sisanya pedang.

Pada 25 Juli 1949 Bagura mengepung asrama militer Belanda di Mardinding, Sumatera Utara. Pasukan Bagura juga menyerang konvoi Belanda di dekat Rajamerahe. Terjadilah pertempuran jarak dekat dalam waktu yang lama. Karena kelelahan, pasukan pun diperintahkan mundur. Tidak bagi Aman Dimot. Ia tetap bertahan.

Dengan kelewang, Aman Dimot menebas serdadu Belanda di dekatnya. Keasyikan menebas, Aman tak menyadari bantuan serdadu Belanda sudah mengepungnya. Para serdadu menghujani Aman Dimot dengan serentetan tembakan. Namun, ia kebal. Tak satu pun peluru menembus tubuhnya. Aman Dimot hanya terkulai lemas.

Melihat hal itu, serdadu Belanda panik. Belanda memasukkan tubuh Aman Dimot ke parit setelah meletakkan sebuah granat di mulutnya. Aman Dimot gugur. Lokasi syahidnya di Desa Kandibata Tanah Karo, Sumatera Utara.

Masyarakat Takengon berkumpul di jalan kota ketika mendengar jenazah Aman Dimot dibawa kembali dari medan perang. Mereka memekik merdeka sekaligus berduka. Untuk menghormati jasa perjuangannya dibangun tugu di Kandibata dan Takengon.

***

Setelah wafat, Aman meninggalkan dua orang isteri, Semidah dan Jani, serta empat anak. M. Yunus, anak bungsunya, kini masih hidup. Sehari-hari ia membuat gula aren di Desa Uning Isaq Kecamatan Lingge.

Aman Dimot pernah menggadaikan sawahnya di Kampung Molek tepatnya Ume Lemang, Isaq. Duitnya dipakai membeli senjata. Hingga kini sawah tersebut belum sanggup ditebus oleh anak-anaknya.

Profesor M. Dien Madjit, Guru Besar Sejarah, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta mengatakan, Abu Bakar Aman Dimot layak menjadi pahlawan nasional karena berjuang hingga ke luar Aceh.


Dien Madjit sudah mengarang sebuah buku berjudul Pedang Berdarah Kisah Perjuangan Abu Bakar Aman Dimot pada 2010. Buku ini dibuat sebagai salah satu syarat mengajukan Aman Dimot menjadi pahlawan nasional. Namun, usaha ini gagal karena menurut Kementerian Sosial data perjuangan sosok ini masih kurang.


“Pemerintah harus mencari dan menelusuri di mana dan apa saja perjuangan Aman Dimot melawan kolonial,” ujar Dien Majit yang asli Gayo ini kepada The Atjeh Times, Senin 6 Agustus 2012.

AP