Wednesday, February 2, 2011

Masjid Lueng Bata Tempat Nyak Radja Merancang Perang



Masjid ini pernah jadi tempat singgah Sultan Aceh ketika istana direbut Belanda. Di sini pula digelar pelantikan pengganti Sultan Mahmud Syah.

__________________________________________

Di perkarangan kompleks itu tampak beberapa bangunan. Pohon asam jawa rimbun berjejeran di dekat pagar setengah meter warna biru. Di tengah kompleks terlihat bangunan menjulang. Inilah Masjid Jamik Lueng Bata, Banda Aceh. Warga Kota Banda Aceh kerap menyebutnya Masjid Lueng Bata. Letak masjid hanya sepelemparan batu dari Jalan Banda Aceh-Medan.



Pertengahan Agustus lalu, masjid sedang direhab. Ada beberapa dinding bata belum diplester. Beberapa pekerja memasang relief di sudut kanan masjid.




Di utara masjid ada bangunan tua berukuran sekitar 10 x 12 meter. Bangunan ini berdinding setengah permanen. Di atas dinding ditambahkan besi hijau. Atap sengnya sudah kehitaman. Bangunan ini hanya memiliki satu pintu masuk.



Bangunan inilah cikal bakal Masjid Lueng Bata. Gedung ini telah berdiri sekitar tahun 1940. Bisa dikatakan inilah masjid kecamatan pertama di Lueng Bata. Warga menyebut masjid lama itu sebagai “masjid tuha (tua)”.



Pendirinya Teuku Imum Lueng Bata yang juga bernama Teuku Nyak Radja Imum Lueng Bata atau akrab dikenal Teuku Imum Lueng Bata. Ia salah seorang kepercayaan Sultan Aceh.



Ia memimpin Kemukiman Lueng Bata yang kala itu berstatus daerah bibeuh atau bebas. Walaupun Lueng Bata berkategori mukim dan dipimpin uleebalang bernama Teuku Raja, wilayah ini diperintah langsung oleh sultan. Biarpun berbeda dengan sagi XXV mukim, sagi XXVI, dan sagi XXII mukim, kedudukan pimpinannya setara dengan panglima tiga sagi tersebut.


Kepahlawan Imum Lueng Bata bersinggungan dengan Belanda. Sejarah mencatat pada 14 April 1873 Jendral Kohler tewas tertembus timah panah di bawah pohon di depan Masjid Baiturrahman. Desas-desus beredar, Kohler tewas karena ditembak salah satu sniper yang juga pengikut Imum Lueng Bata.


Namun Teuku Nukman, cucu Imum Lueng Bata membantahnya. Menurut Nukman, sang kakeklah yang menembak Kohler. Jarak Kohler dengan Imum Lueng Bata sekitar 100 meter.

Ketika agresi Belanda kedua terhadap Kerajaan Aceh, Sultan, Panglima Polem, dan Teuku Baet menyingkir ke Lueng Bata. Selain menghindari bombardir dari Belanda, kala itu wabah kolera pun sedang berjangkit. Salah satu korban adalah Sultan Mahmud Syah. Ia mangkat pada 29 Januari di Pagar Air atau Pagar Aye, tak jauh dari Lueng Bata. Sultan Mahmud dimakamkan di Cot Bada, Samahani, Aceh Besar. Setelah itu, langsung digantikan posisi sementara sultan oleh Tuwanku Hasyim Bantamuda.


Seharusnya posisi ini dijabat Tuwanku Muhammad Daud Syah yang dinobatkan sebagai sultan di Masjid Indrapuri pada 1878. Namun, Daud Syah dianggap belum cukup umur. Di masjid tuha Lueng Bata itulah, pelantikan Tuwanku Hasyim Bantamuda digelar.


Menurut cerita, masjid tuha merupakan markas dan tempat bermusyawarahnya pasukan Imum Lueng Bata. Masjid lama itu kini tak lagi digunakan untuk salat. “Karena kapasitasnya terlalu kecil untuk masjid kecamatan,” ujar Marzuki, salah satu pengurus masjid.

Bentuk masjid lama menyerupai Masjid Indrapuri dengan kubah satu bersegi empat dan tidak bertingkat. Dindingnya juga tebal sehingga dapat dijadikan benteng apabila sewaktu-waktu terjadi penyerangan dari Belanda.


Namun, bangunan yang tersisa sekarang, menurut Nukman, strukturnya jauh dari asli. “Masjid tersebut sudah beberapa kali dirombak,” ujar Nukman.

Sejak 6 Oktober 1968 ketika dibangun masjid baru, masjid tuha diubah menjadi perpustakaan. Tempat ini tak hanya digunakan anak TPA dan remaja masjid. Ada juga siswa-siswa yang mengunjungi perpustakaan itu setiap harinya. “Bahkan, perpustakaan ini menjadi tempat persinggahan siswa saat pulang sekolah meski kadang tidak masuk, hanya sekadar beristirahat di teras pustaka,” ujar Marzuki.

Tepat di depan perpustakaan, ada empat makam dipagari besi setinggi pinggang. Makam-makam ini keluarga Imum Lueng Bata yang dulu sempat menjadi pengurus masjid setelah Teuku Imum Lueng Bata meninggal. Juga ada makam anaknya yang bernama Teuku A.A. Shamaun bin Teuku Ibarahim bin Teuku Imeum Lueng Bata.



Menurut Marzuki, disebut Masjid Jamik karena bangunan ini terletak di kecamatan. “Jamik itu berarti masjid besar di suatu daerah atau di sebuah kecamatan dan mukim,” ujarnya. Selain berperang melawan Belanda, kata dia, Imum Lueng Bata juga sangat peduli dengan ibadah dan berinisiatif mendirikan masjid agar masyarakat bisa beribadah bersama.


Sayangnya, pembuat masjid itu tak jelas di mana makamnya. Imum Lueng Bata disebut-sebut meninggal dalam pengejaran Belanda. Namun, lokasinya tak diketahui pasti. Dari yang didengar Nukman, Imum Lueng Bata meninggal di kawasan Pidie. “Hanya Allah yang tahu kenapa beliau tidak diketahui makamnya,” ujar Nukman.[]