Wednesday, February 2, 2011

Komite PKI Aceh pada Sebuah Masa

KEBERADAAN Partai Komunis Indonesia (PKI) di Aceh medio 1960-an silam, nyaris tak berbekas dalam literatur dan ingatan masyarakat Aceh.
Hal ini disebabkan banyak konflik-konflik lain di Serambi Mekkah yang menenggelamkan cerita para komunis di Aceh tersebut. Seperti halnya peperangan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia, Perang Cumbok hingga konflik Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
Padahal, jika ditelusuri lembaran sejarah di Aceh, PKI juga pernah eksis dan berkembang hingga mempunyai basis organisasi yang kuat. Saat ini, sejarah PKI di Aceh hanya terdengar dari mulut ke mulut orang tua di pelosok-pelosok Aceh.
Seperti yang dituturkan Abdullah Raden, pria berusia 75 tahun asal Kabupaten Pidie Jaya yang pernah mendengar cerita pembantaian pengikut PKI di Seulawah Agam dan beberapa kawasan di Meuraxa, Banda Aceh, 47 tahun lalu.
Akan tetapi, referensi mengenai sejarah yang diceritakan tersebut tidak bisa dipertanggung jawabkan secara ilmiah karena belum ada bukti fisik terkait hal tersebut. Merasa penasaran, akhirnya The Atjeh Post mencoba menelusuri sejarah komunis di Tanah Rencong.
Dalam penelusuran tersebut, ditemukan sebuah salinan berjudul; Atjeh Mendakwa yang ditulis Thaib Adamy dan dibukukan pada tahun 1964 oleh Comite PKI Atjeh 1964. Buku tersebut berkisah tentang pembelaan Thaib Adamy dihadapan sidang Pengadilan Negeri Sigli, 12 September 1963. Saat itu, Thaib Adamy dibekuk petugas keamanan karena terlibat kegiatan revolusioner di bawah payung Komunis Indonesia.
Menurut Muhammad Samikidin, Sekretaris Pertama Comitee PKI Atjeh dan Anggota CCPKI dalam buku Atjeh Mendakwa tersebut mengatakan, belum pernah perkara politik di Atjeh yang mendapat perhatian begitu besar dari rakyat seperti yang terjadi pada masa persidangan Thaib Adamy.
Sejak pengumuman penangkapan pentolan PKI tersebut hingga masa persidangan, kata Muhammad Samikidin dalam pengantarnya, hampir 5 ribu dan bahkan pernah mencapai 10 ribu warga Aceh ikut serta dalam persidangan tersebut.
“Teristimewa pada waktu kawan Thaib Adamy membatjakan pembelaannya selama 5,5 jam,” tulis Samikidin dalam buku tersebut.
Saat itu, kata Samikidin dalam buku tersebut, banyak rakyat yang mendukung pembelaan Thaib Adamy di Pengadilan Negeri Sigli dengan memberikan wesel serta petisi-petisi penolakan penahanan pentolan komunis tersebut.
Dalam pembelaannya, Thaib Adamy yang saat itu menjabat sebagai Wakil Sekretaris Pertama Committee PKI Atjeh sekaligus anggota Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPRGR) Aceh dari fraksi PKI mengatakan, dirinya tidak bersalah.
“Kalau pemimpin PRRI, Permesta dan DI/TII yang sudah terang melawan pemerintah RI dengan kekerasan, merusak bangunan-bangunan dan sebagainya bahkan sampai berakibat hilangnya puluhan ribu nyawa rakyat tidak dihukum, apakah adil kalau saya dipersalahkan dan dihukum karena melakukan aktivitas revolusioner, membela rakyat dan revolusi memperkuat Manipol dengan menggangjang kontra revolusi kapitalis, birokrat, pencoleng harta negara?” kata dia yang disambut dengan tepuk tangan massa yang menghadiri persidangan.
Pembelaan Thaib Adamy tersebut berlangsung hingga lima jam lebih. Dia membacakan pledoi setebal 122 halaman dengan berbagai pertimbangan politik seraya membenarkan perjuangan Partai Komunis Indonesia (PKI) di Aceh.
Meskipun begitu, berdasarkan literature Atjeh Mendakwa tersebut, pembelaan Thaib Adamy sama sekali tidak mendapat tanggapan dari Pengadilan Negeri Sigli. Dia dijatuhi hukuman dua tahun penjara dipotong masa tahanan dan diwajibkan membayar denda perkara sidang.
Thaib Adamy saat itu didakwa atas tindakan melakukan aksi propaganda yang menyebabkan terjadi kerusuhan. Dakwaan tersebut didasarkan pada pidato Thaib Adamy dalam rapat umum PKI tanggal 3 Maret 1963 di Sigli.
Mengenai kasus persidangan Thaib Adamy tersebut, salah satu dosen jurusan Sejarah Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Unsyiah, Drs. Teuku Abdullah Sakti mengatakan, sejarah mengenai keterlibatan warga Aceh dalam organisasi Partai Komunis Indonesia (PKI) pada tahun 1960 an tersebut, memang minim sekali referensinya.
“Saya kurang menguasai tentang sejarah PKI dan Thaib Adamy tersebut. Pasalnya, sejarah mengenai hal ini (PKI) di Aceh, terutama bukunya sangat kurang. Bahkan tidak bisa kita temukan di pustaka-pustaka di sini,” kata dia.
Dia berharap, perpustakaan di Aceh harus menambah daftar referensi perlawanan PKI di Aceh. “Ini supaya generasi muda di Aceh tahu mengenai sejarah PKI tersebut,” ujarnya.
 AP
(bna)