Wednesday, February 2, 2011

Cerita Ngalor-Ngidul tentang Bangsa Belanda (2/Habis)

Ini cerita Ibu saya dulu. Ia pernah dirawat di rumah sakit tentara di Cimahi tahun 50-an. Pada suatu malam ia mendapat kunjungan dari seorang suster berwajah Belanda. Tak berapa lama setelah suster itu keluar, masuk lagi suster lain. Ibu saya lalu bertanya, “Kenapa diperiksa lagi, bukankah baru saja datang suster ke sini?” Suster kedua hanya tersenyum. Besoknya ia baru menjelaskan, memang suka ada pasien yang merasa didatangi oleh suster misterius itu. Katanya, suster misterius itu dikenal sebagai suster yang disiplin melayani pasiennya semasa hidupnya. Suster Ngesot, rupanya bukan sekadar film bagi Ibu saya.

Masih menurut cerita Ibu saya. Ada seorang laki-laki yang amat membenci orang Belanda di zaman penjajahan. Ia sedang bekerja mengecat tembok bagian atas suatu sekolah. Tepat di bawahnya, lewat seorang pengawas orang Belanda. Keisengannya pun muncul. Ia geser ember cat tembok dengan kakinya pelan-pelan. Ember terguling, dan sebagian catnya benar-benar mengguyur si pengawas Belanda. Dengan permainan wataknya yang baik, ia langsung turun dan membungkuk-bungkuk di hadapan orang Belanda itu sambil meminta maaf berkali-kali. Si Belanda tampaknya percaya atas insiden itu. Namun, si pelaku dipanggil kepala sekolah. Ia mendapat teguran keras, dan tidak lagi diperkenankan bekerja di sekolah itu.

Harian Pikiran Rakyat tahun 70-an pernah memuat berita menarik. Seorang bapak, yang pernah bekerja sebagai sopir pribadi di zaman kolonial, tiba-tiba mendapat rezeki nomplok. Uang setara miliaran rupiah masa kini itu diberikan langsung oleh mantan majikannya yang orang Belanda. Ia datang secara khusus dari Belanda ke Bandung, hanya untuk menemui mantan sopirnya dan memberinya hadiah. Karena dulu, sopirnya itu selalu sabar saat dimarahi, dan tidak pernah membantah perintahnya.

Dalam wawancara di sebuah radio swasta, seorang konsultan PDAM di Jakarta suatu ketika mendapat kesempatan untuk mengunjungi Belanda, meninjau bagaimana negara itu mengelola air bersihnya. Ia kemudian diajak naik perahu karet menyusuri suatu sungai, dan memasuki gorong-gorong yang besar, tempat membuang limbah. Airnya jernih, tampak ikan-ikan berenang ke sana ke mari. Kalau air limbahnya bersih dan bisa menjadi habitat ikan, bagaimana pula kualitas air bersihnya yang siap dikonsumsi penduduk Belanda?

By the way, pernahkah Anda memikirkan secara sumngguh-sungguh mengapa Indonesia bisa jatuh dalam pelukan penjajah Belanda untuk masa yang terbilang lama? Jawabannya pasti macam-macam. Tetapi, menurut saya sendiri, penyebab utamanya sebenarnya adalah perilaku bangsa kita sendiri yang kadang tak terpuji. Misalnya, begini. Ada dua kerajaan yang sudah lama saling bertikai memperebutkan pengaruh politik dan sumber daya alam. Bersamaan dengan pertikaian itu, datang ekspedisi dagang asing, yang menamai dirinya: VOC. Mereka pada mulanya hanya ingin berdagang semata. Namun, lama-lama mereka berubah pikiran. “Alangkah untungnya kalau kami bisa mengadu-domba orang-orang pribumi ini. Kamilah yang kelak akan menguasai sumber daya alam mereka.” Maka, VOC lalu mengadakan kontak-kontak rahasia kepada kedua belah pihak untuk menawarkan jasa bantuannya dalam logistik, finansial, dan personil. Satu pihak ahirnya benar-benar meminta bantuan pada VOC untuk ikut menumpas lawannya. Permintaan dipenuhi, lawannya pun digulung habis dalam waktu tak terlalu lama. Tentu saja, semuanya menuntut imbalan, baik konsensi politik dan ekonomi. Tuan-tuan VOC kini menjadi Raja di balik panggung, yang posisinya jauh lebih menentukan dari Raja resmi. Anda boleh setuju atau tidak dengan pendapat ini, karena ini cuma pendapat pribadi dari seorang yang bukan ahli sejarah, sekadar pembaca buku sejarah saja!

Handono Mardiyanto